Banyak orang yang takut menikah karena berpikir menikah akan
memakan banyak biaya. Ya, itu memang benar. Sebagai pria, setelah menikah wajib
menafkahi istri. Gaji yang tadinya hanya untuk diri sendiri harus juga
diberikan pada istri. Belum lagi pengeluaran lainnya yang tak kalah besar,
ditambah jia sudah memiliki anak.
Banyak yang menunggu mapan dulu untuk menikah. Tunggu punya
rumah pribadi, dan juga kendaraan pribadi. Kalau saya sendiri tidak beranggapan
seperti itu. Justru setelah menikah rezeki itu akan terus bertambah, saya
percaya dengan janji Allah.
وَأَنكِحُوا
الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ
عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء
يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,
dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
perempuan yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka
dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(Qs. An-Nur [23] : 32).
Maka dari itu, saya sudah punya keinginan menikah saat di
bangku kuliah, saat saya belum punya penghasilan apa-apa. Saya tak takut,
apalagi saya percaya dengan janji Allah. Teman saya bahkan ada yang
memberanikan menikah saat semester 2 perkuliahan, kurang lebih saat itu usianya
baru 18 tahun. Itu membuat saya semakin bersemangat.
Alhamdulillah, orang tua saya juga membantu dalam mewujudkan
keinginan saya ini. Beberapa kali mereka mengenalkan saya kepada anak teman
mereka. Setelah perjuangan tak kenal lelah, akhirnya mimpi itu terwujud pada 8
Agustus 2014 dengan seorang gadis cantik bernama Nourma Deavianty.
Uniknya, perjuangan itu berhasil di Jalan Perjuangan. Ya,
akad nikah saya dilangsungkan di Jalan Perjuangan dengan sangat sederhana.
Tanpa ada resepsi, hanya perwakilan saudara yang hadir. Tadinya, kami sempat
berniat mengadakan resepsi di bulan Desember tapi harus batal karena sesuatu
dan lain hal. Ini sepertinya ‘menurun’ dari bapak dan ibu saya yang nikahnya
juga tanpa resepsi. Hehe.
Tak seperti pasangan pada umumnya yang langsung tinggal
bersama, kami sudah harus berpisah di awal pernikahan. Istri saya masih
melanjutkan kuliah di Unswagati Cirebon sedangkan saya masih bekerja di VIVA.co.id
Jakarta.
Sebenarnya, jika bicara logika gaji saya masih kurang untuk
menikah. Apalagi, gaji dipotong setelah meminjam uang untuk membeli cincin
nikah, ada pengeluaran asuransi, belum lagi bayar kosan, belum lagi pulsa,
ongkos bolak balik Cirebon Jakarta, dsb dsb. Malah saya juga berkewajiban
membayar SPP istri saya.
Tapi memang benar, Allah itu tidak pernah ingkar janji.
Selalu saja ada rezeki setelah menikah. Saat istri butuh uang SPP ada uang suka
cita pernikahan dari kantor. Saat butuh uang untuk ke Cirebon dapat rejeki dari
yang membeli PS2. Saat kantong
benar-benar kering, jualan jersey meningkat. Pernah juga dapat hadiah kuis dari
@hikmahpuasa dan membeli kebutuhan sehari-hari.
Pernah juga hampir seminggu beruntun saya makan tanpa bayar.
Rezeki ada aja, dari mulai temen yang traktir, orang tua ke kosan traktir,
nginep di rumah tante saya dapat makan, ada acara reuni Unpad makan gratis,
ultah kantor, terus konferensi pers juga dapat makan padahal biasanya jarang
ditugaskan ke konferensi pers.
Saya juga mendapatkan tugas liputan ke Malaysia. Itu pertama
kalinya saya mendapat tugas ke luar negeri dan luar kota. Saya anggap ini juga
rejeki dari pernikahan. Dan momennya memang benar-benar pas saat istri saya
butuh uang untuk SPP istri, lumayan ada dari uang jalan. Di Malaysia, juga saya
dapat rezeki bisa makan enak tanpa bayar.
Begitulah sedikit pengalaman saya. Dan memang semuanya
berlangsung ajaib dalam bulan ke-7 pernikahan kami. Saya pernah iseng
menghitung pengeluaran berdasarkan gaji saya. Dan seharusnya saya minus 700
ribu per bulan. Tapi nyatanya, uang saya
bisa selalu cukup dan saya bahkan masih bisa beberapa kali infak dan sedekah.
Tidak percaya? Silakan mencoba :)