Sabtu, 07 Mei 2011

Tak Selamanya Bola Itu di Atas

Sepakbola mengajarkan banyak kita berbagai hal, termasuk mengenai hikmah dari kehidupan yang fana ini. Dari bentuknya saja yang bundar seperti bumi, hal tersebut adalah sebuah idiom. Bola selalu menggelinding. Semua permukaan bola pasti pernah merasakan pernah di atas dan juga pernah di bawah.
Mungkin itulah yang terjadi pada klub favorit saya, Inter. Saya menyukai klub ini bukan karena ingin terus melihat sebuah tim meraih juara. Saya mulai menyukai klub ini pada tahun 2002, saat bola yang dipegang pasukan Inter sedang menggelinding ke bawah.

Saat itu Inter sedang mengalami paceklik gelar. Scudetto yang diidam-idamkan tak kunjung tiba sejak musim 1988-99, padahal berbagai pemain dan pelatih top selalu didatangkan oleh pemilik klub yang begitu ambisius, Massimo Moratti. Hasilnya? Nol besar. Inter selalu gagal menjadi yang terbaik di Italia, hanya bisa melongo begitu saja saat dua rival abadi, Milan dan Juventus bergantian meraih scudetto. Gelar Piala UEFA 1990–91, 1993–94, 1997–98 seakan tak sebanding dengan pengeluaran mereka.

Bukan Calciopoli
Banyak yang menuding prestasi Inter sejak tahun 2005 adalah berkah Calciopoli. Menurut saya itu tidak benar. Inter mulai mendapatkan gelar pada musim 2004-05. Saat itu mereka menaklukkan AS Roma di di final Coppa Italia. Ini terjadi sebelum kasus Calciopoli yang terkuak pada tahun 2006.
Kemenangan di Coppa Italia itu menjadi titik balik kejayaan Inter. Sejak saat itu tiap musim Inter selalu memastikan minimal satu gelar hadir. Termasuk prestasi fenomenal scudetto lima kali berturut-turut sejak musim 2005-06. Prestasi yang sebelumnya hanya bisa ditorehkan Torino dan Juventus beberapa dekade silam. Inter benar-benar menjadi tim yang sulit dihentikan.

Meskipun selalu sukses di kancah lokal, Presiden Inter Massimo Moratti tak pernah puas. Ia menginginkan titel yang lebih bergengsi, Liga Champions. Ambisi tersebut membuatnya mendatangkan pelatih yang berpengalaman, Jose Mourinho.

Musim 2009-10 lalu mimpi itu benar-benar menjadi kenyataan. Inter sukses menjadi yang terbaik di Eropa, bahkan merebut treble winners. Satu-satunya klub Italia yang bisa meraih prestasi tersebut. Bukan hanya itu, Inter melengkapi kesuksesan dengan meraih trofi lainnya, Piala Super Eropa dan Piala Dunia Antarklub. Lima gelar dalam setahun, inilah prestasi terbaik Inter sejak berdiri. Puncak kebanggaan saya sebagai Interisti.

Langsung Jatuh
Memang benar tak selamanya bola itu di atas. Setelah mencapai puncak kesuksesan tahun lalu, La Beneamata seperti terlena. Musim 2010-11 ini mereka berpeluang mengakhiri musim tanpa gelar. Tentunya sebuah hal yang ironis, setelah tahun lalu mendapat lima gelar.

Di kancah Liga Champions, mereka tersingkir secara mengejutkan oleh Schalke 04, di Serie-A mereka sudah tertinggal 8 poin dengan AC Milan. Satu-satunya peluang tersisa Inter hanyalah ajang Coppa Italia, tentunya trofi yang tak sepadan dengan nama besar Inter.

Inter seperti kembali ke musim 2003-04 lalu saat mengakhiri musim tanpa gelar. Tanpa mental juara dan sulit bersaing. Apa yang salah dengan Inter?

Mungkin pasukan Inter terlena dengan raihan sukses musim lalu. Lupa akan perjuangan membangun tim dari nol. Lupa begitu sulitnya meraih gelar sejak musim 1988-89. Mereka terlena dan akhirnya tak bisa menemukan karakter sebagai juara bertahan.

Demikian halnya dengan kehidupan kita. Saat kita mendapat banyak masalah, kita harus senantiasa bersabar dan juga terus berusaha dan berdoa agar mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan. Saat apa yang kita impikan bisa tercapai jangan pernah terlena. Perbanyaklah bersyukur, dan ingatlah perjuangan yang sulit untuk
mendapatkan hal tersebut di masa lalu. Tak selamanya kita ada di atas, semua yang kita punya di dunia ini adalah kepunyaan-Nya dan sewaktu-waktu bisa diambil oleh-Nya termasuk harta atau pun kesuksesan kita.

Sebagai pendukung Inter, inilah saatnya loyalitas itu dibuktikan. Para Interisti mendukung Inter bukan karena ingin melihat tim ini menang. Kami akan terus mendukung tim ini walaupun dalam keadaan terpuruk sekalipun. Saya pun mulai mendukung tim ini saat sulit meraih gelar.
Kita harus selalu ingat bahwa: “Tak Selamanya Bola Itu di Atas”

1 komentar:

  1. The brand’s woes hit some of the familiar notes: People are shopping less in stores. People are especially cheap michael kors shopping less at malls. Payless, however, is at a particular disadvantage because while its shoes are cheap, they aren’t necessarily the kind of products shoppers want。Payless is aware of the mall problem. It was already in the process michael kors outlet uk of getting out of the mall before this recent news, announcing in September it was set to close up to 500 smaller mall-based locations in favor of new “Super Stores,” with larger michael kors replica handbags locations and a wider assortment of products available.

    BalasHapus

ada komentar? silakan tuliskan.. hatur nuhun
(kalo yg nggak punya blog pilih yang name/URL, URL-nya dikosongin aja, okay?)

Entri yang Diunggulkan

Tahun 2024 Tahunnya Inter Milan dan Persib Bandung

Tahun 2024 ini menjadi tahun yang gemilang untuk dua klub favorit saya, Inter Milan dan Persib Bandung. Betapa tidak, kedua klub yang identi...