Melihat tawamu… mendengar suaramu memanggil “Papa”… rasanya seperti dunia yang tadinya berat, penuh arah yang tak jelas, tiba-tiba menjadi lebih ringan dan lebih sederhana: cukup ada kamu.
Aku dulu berpikir kebahagiaan itu tentang memiliki hidup yang tertata, rencana yang berjalan mulus, dan masa depan yang jelas tujuannya. Tapi ternyata, kebahagiaan itu sesederhana melihatmu tertawa sambil berlari kecil, tanpa tahu apa yang Papa pikirkan, tanpa sadar bahwa kamu justru sedang menjadi jawaban dari banyak doa yang pernah Papa panjatkan.
> Terlihat jelas bahwa hatimu,
anugerah terindah yang pernah kumiliki.
Aku tidak selalu kuat. Kadang ada hari-hari di mana dada berat, mata panas, dan hati seperti tidak punya rumah untuk pulang. Tapi di setiap masa yang sulit itu, ada momen kecil ketika kamu memeluk Papa, atau hanya sekadar berkata, “Papa nanti jemput Aa ya…”
Dan entah bagaimana, semua rasa lelah itu perlahan luruh.
Saat kamu di sisiku, dunia kembali ceria. Bukan karena semuanya tiba-tiba membaik, tapi karena kamu mengajarkan arti baru dari kata cukup.
Aku mungkin tidak lagi mengejar kesempurnaan — karena aku sudah menemukan keutuhan yang sebenarnya. Bukan rumah yang besar, bukan hidup yang mulus, tapi hati kecilmu yang bersandar padaku dengan rasa percaya.
> Belai lembut jarimu,
sejuk tatap wajahmu,
hangat peluk janjimu…
Kamu tidak tahu, Nak, tapi Papa belajar banyak dari tatapanmu yang tenang. Dari caramu menggenggam tangan Papa tanpa takut. Dari caramu percaya, bahwa punya Papa saja sudah cukup bagimu.
Dan dari situ, Papa belajar percaya…
Bahwa Allah memang tidak selalu memberi apa yang kita minta,
tapi selalu memberi apa yang kita butuhkan.
Dan itu adalah kamu.
Anugerah terindah yang pernah Papa miliki.
Dan akan Papa jaga — sampai kapan pun, dengan cara yang paling tulus.

