Sepakbola adalah olahraga yang sangat luar biasa. Tak melulu
soal kemenangan atau siapa yang terhebat saat 11 pemain bertanding melawan 11
pemain lainnya. Ada sisi lain dari olahraga ini yang sangat layak disimak.
Dari sepakbola, kita bisa belajar mengenai keikhlasan,
kerendahan hati, dan kejujuran. Ada saatnya, ada hal yang lebih penting
dibandingkan kemenangan dan trofi juara.
Dunia sepakbola dikejutkan dengan tragedi yang menimpa klub
asal Brasil, Chapecoense. Pesawat yang membawa para pemain mereka mengalami
kecelakaan di Kolombia, 29 November 2016. Kecelakaan ini menewaskan 76 orang,
termasuk 22 pemain Chapecoense yang juga disebut-sebut sebagai Leicester
Brasil.
Pesawat jatuh dalam perjalanan ke Kolombia, membawa pemain
untuk laga final Copa Sudamericana 2016 melawan raksasa Kolombia, Atletico
Nacional.
Dan Chapecoense akhirnya mendapatkan hiburan usai tragedi
memilukan tersebut. Atletico Nacional, yang seyogianya menjadi lawan mereka di
final meminta CONMEBOL untuk memberikan gelar juara kepada Chapecoense.
Tindakan yang dilakukan Atletico Nacional patut diacungi
jempol. Padahal, jika mereka mau, bisa saja mereka meminta pertandingan tetap
dilanjutkan, dan meminta lawan menggunakan pemain Primavera. Namun, pada
Atletico, ada hal yang lebih penting dibandingkan sepakbola.
Dari Atletico Nacional, kita belajar mengenai keikhlasan.
Sesuatu yang sebenarnya sangat bisa direbut, namun rela diberikan pada yang
lebih membutuhkan.
Uma imagem aérea do estádio Atanasio Girardot. Nossos mais sinceros agradecimentos, @nacionaloficial. Rumo ao mundial! #ForçaChape pic.twitter.com/wAMLJT8Yz1— Chapecoense (@ChapecoenseReal) December 1, 2016
Mirip Superga dan
Kebaikan Inter Milan
Jauh sebelum tragedi Chapecoense, ada tragedi memilukan yang
juga terjadi di dunia sepakbola. 4 Mei 1949, tragedi mengerikan dialami Torino,
yang sedang memiliki generasi emas.
Kecelakaan pesawat terjadi di Bukit Superga menyebabkan 31
orang tewas. 18 di antaranya adalah skuat Torino yang sedang memiliki pemain
yang disegani di Italia dan Eropa.
Pada saat itu, Torino adalah raja. Inter,Juventus atau Milan
tak berkutik. Torino berhasil menobatkan diri sebagai juara sejati Italia dengan
mengangkangi takhta Serie A dari 1943 sampai 1949 tanpa putus.
Yang lebih tragis, 70 persen kekuatan Timnas Italia juga ada
di Torino. Klub berjulukan "El Toro" itu menyumbang 7 pemain untuk
"Gli Azzurri". Salah satunya, Valentino Mazzola, kapten dari segala
kapten, ayah dari legenda Inter Milan, Sandro Mazzola
Saat itu, Torino sedang bersaing ketat dengan Inter Milan
dalam perburuan Scudetto Serie A. Menyisakan 4 pertandingan lagi, Inter memilih
untuk mengikhlaskan Scudetto pada Torino. Bagi Inter, masih ada hal yang lebih
penting dari sepakbola.
Carlo Masseroni (1942–1955) presiden Inter waktu itu ikut
menyetujui keputusan FIGC tersebut dengan mengorbankan peluang Scudetto yang
didapat. Jika melihat dari susunan klasemen serta 4 pertandingan sisa Inter
yang saat itu dipimpin oleh Istvan Nyers dan Enzo Bearzot di yakini mampu
memenangi sisa pertandingan yang ada. Dan Torino dengan tim Primaveranya akan
kesulitan memenangi laga sisa.
Carlo melihat memenangi sebuah scudetto saat seluruh Italia berduka
tidaklah menjadi sebuah kebanggan, apa yang telah kita setujui dan kita lakukan
hari ini akan menjadi sebuah sejarah, Kasih Sayang, Keikhlasan dan Kejujuran.
Pepatah rejeki tak ke mana ternyata berlaku untuk Inter.
Setelah mengikhlaskan Scudetto pada 1949, Inter mendapatkan durian runtuh di
musim 2005-06. Di saat Juventus terkena skandal Calciopoli, Inter pun
dinyatakan berhak merebut Scudetto.
Dari sini pun kita bisa belajar, dari sebuah keikhlasan, aka
nada ganjarannya suatu saat nanti. Dan mungkin, itu bisa jadi sesuatu yang
lebih baik.
artikel sangat bagus,, trimakasih sudah berbagi infonya
BalasHapus