Jumat, 02 Desember 2016

Chapecoense, Tragedi Superga, Keikhlasan, dan Inter Milan


Sepakbola adalah olahraga yang sangat luar biasa. Tak melulu soal kemenangan atau siapa yang terhebat saat 11 pemain bertanding melawan 11 pemain lainnya. Ada sisi lain dari olahraga ini yang sangat layak disimak.

Dari sepakbola, kita bisa belajar mengenai keikhlasan, kerendahan hati, dan kejujuran. Ada saatnya, ada hal yang lebih penting dibandingkan kemenangan dan trofi juara.

Dunia sepakbola dikejutkan dengan tragedi yang menimpa klub asal Brasil, Chapecoense. Pesawat yang membawa para pemain mereka mengalami kecelakaan di Kolombia, 29 November 2016. Kecelakaan ini menewaskan 76 orang, termasuk 22 pemain Chapecoense yang juga disebut-sebut sebagai Leicester Brasil.

Pesawat jatuh dalam perjalanan ke Kolombia, membawa pemain untuk laga final Copa Sudamericana 2016 melawan raksasa Kolombia, Atletico Nacional.

Dan Chapecoense akhirnya mendapatkan hiburan usai tragedi memilukan tersebut. Atletico Nacional, yang seyogianya menjadi lawan mereka di final meminta CONMEBOL untuk memberikan gelar juara kepada Chapecoense.


Tindakan yang dilakukan Atletico Nacional patut diacungi jempol. Padahal, jika mereka mau, bisa saja mereka meminta pertandingan tetap dilanjutkan, dan meminta lawan menggunakan pemain Primavera. Namun, pada Atletico, ada hal yang lebih penting dibandingkan sepakbola.

Dari Atletico Nacional, kita belajar mengenai keikhlasan. Sesuatu yang sebenarnya sangat bisa direbut, namun rela diberikan pada yang lebih membutuhkan.

Mirip Superga dan Kebaikan Inter Milan
Jauh sebelum tragedi Chapecoense, ada tragedi memilukan yang juga terjadi di dunia sepakbola. 4 Mei 1949, tragedi mengerikan dialami Torino, yang sedang memiliki generasi emas.
Kecelakaan pesawat terjadi di Bukit Superga menyebabkan 31 orang tewas. 18 di antaranya adalah skuat Torino yang sedang memiliki pemain yang disegani di Italia dan Eropa.

Pada saat itu, Torino adalah raja. Inter,Juventus atau Milan tak berkutik. Torino berhasil menobatkan diri sebagai juara sejati Italia dengan mengangkangi takhta Serie A dari 1943 sampai 1949 tanpa putus.

Yang lebih tragis, 70 persen kekuatan Timnas Italia juga ada di Torino. Klub berjulukan "El Toro" itu menyumbang 7 pemain untuk "Gli Azzurri". Salah satunya, Valentino Mazzola, kapten dari segala kapten, ayah dari legenda Inter Milan, Sandro Mazzola

Saat itu, Torino sedang bersaing ketat dengan Inter Milan dalam perburuan Scudetto Serie A. Menyisakan 4 pertandingan lagi, Inter memilih untuk mengikhlaskan Scudetto pada Torino. Bagi Inter, masih ada hal yang lebih penting dari sepakbola.

Carlo Masseroni (1942–1955) presiden Inter waktu itu ikut menyetujui keputusan FIGC tersebut dengan mengorbankan peluang Scudetto yang didapat. Jika melihat dari susunan klasemen serta 4 pertandingan sisa Inter yang saat itu dipimpin oleh Istvan Nyers dan Enzo Bearzot di yakini mampu memenangi sisa pertandingan yang ada. Dan Torino dengan tim Primaveranya akan kesulitan memenangi laga sisa.

Carlo melihat memenangi sebuah scudetto saat seluruh Italia berduka tidaklah menjadi sebuah kebanggan, apa yang telah kita setujui dan kita lakukan hari ini akan menjadi sebuah sejarah, Kasih Sayang, Keikhlasan dan Kejujuran.

Pepatah rejeki tak ke mana ternyata berlaku untuk Inter. Setelah mengikhlaskan Scudetto pada 1949, Inter mendapatkan durian runtuh di musim 2005-06. Di saat Juventus terkena skandal Calciopoli, Inter pun dinyatakan berhak merebut Scudetto.

Dari sini pun kita bisa belajar, dari sebuah keikhlasan, aka nada ganjarannya suatu saat nanti. Dan mungkin, itu bisa jadi sesuatu yang lebih baik.


1 komentar:

ada komentar? silakan tuliskan.. hatur nuhun
(kalo yg nggak punya blog pilih yang name/URL, URL-nya dikosongin aja, okay?)

Entri yang Diunggulkan

Tahun 2024 Tahunnya Inter Milan dan Persib Bandung

Tahun 2024 ini menjadi tahun yang gemilang untuk dua klub favorit saya, Inter Milan dan Persib Bandung. Betapa tidak, kedua klub yang identi...